Politik identititas itu harus diakui ada dan tidak usah dibayangkan hilang segera, tapi pertama kita imbau semua pihak jangan baper jangan bawa perasaan.
Apa jadinya jika pemerintahan diurus oleh orang yang tidak menjunjung moral, etika publik dan nilai kolektif dalam sebuah proses politik? Apalagi penyelenggaraan pemerintahan?.
Betapa malangnya nasib suatu masyarakat yang menyerahkan legitimasinya kepada pemerintah yang tidak meletakkan moralitas dan etika publik dalam menyelenggarakan pemerintahan justru menunjukkan arogansinya dalam adegan pencitraan.
Pemilu sebagai instrument berdemokrasi pada akhirnya hanya menjadi ajang marketing citra kandidat dengan drama pengaturan kesan sebagai upaya untuk mencuri perhatian pemilih (voters).
Setelah terpilih, para elite politik sibuk menjaga citranya lewat gerakan politik pencitraan dan mulai membidik kelompok-kelompok tertentu sebagai konsekuensi politik balas dendam karena tidak satu gerbong dalam proses perebutan kekuasaan (struggle of power).
Pemilu yang sejatinya adalah sebuah ajang melahirkan pemimpin berkarakter dan beretika sesuai pilihan rakyat dan mengemban amanah untuk mensejahterakan kepentingan rakyat malah justru berujung menyusahkan.
Kedepannya kita sebagai konstituen perlu selektif menyerahkan legitimasi masing-masing kepada orang yang benar-benar tepat. Jangan sampai sejarah pahit demokrasi kita terus berulang-ulang dan tak kunjung menggambarkan sebuah perbaikan karena salah memilih pemimpin.
Mirisnya sampai dengan saat ini, kita sering terjebak dalam drama politik pencitraan para elite, baik itu di level pusat maupun daerah. Sangat tidak adil jika akhirnya pemimpin yang terlahir dari hasil pemilihan langsung dan katanya pemimpin pilihan rakyat, justru hanya disibukkan dengan baliho dan perilaku-perilaku adiktif lainnya yang bersinggungan dengan cita-cita demokrasi negeri ini.
Lebih parahnya lagi strategi politik pencitraan hanya menampakkan pesan-pesan utopis (khayalan) dipermukaannya saja. Membuat kita hanyut dengan romantisisme demokrasi sesaat. Keberhasilan dari program dari rezim pencitraan ini tidak lebih seperti fatamorgana yang enak saat dipandang namun semu pada hakikatnya.
Bayangkan, berapa kali penderitaan dan kerugian yang kita alami akibat system pemilihan pimpinan yang menempatkan kuantitas sebagai tolak ukur keterpilihan.
Nilai sebuah demokrasi hanya menempatkan kuantitas sebagai acuan keabsahan dalam proses berdemokrasi, padahal kualitas menjadi pondasi yang lebih urgen yang harus ada dalam sosok seorang pemimpin. Itu tidak terjadi dalam wajah demokrasi kita dimana sistem demokrasi kita mengadopsi jargon one man vote sebagai metode yang melekat dalam proses penyaringan pemimpin.
Akibatnya orang bodoh sekalipun secara legal konstitusi dianggap sah meski tidak dalam kepastiannya berdasarkan kualifikasi yang semestinya ada pada dirinya.
Lihat saja pemerintahan kita hari ini, ketika dipimpin oleh seorang tokoh jargon revolusi mentalnya. Menjadikan mental penyelenggaraan hukum dan proses berdemokrasi kita berevolusi menuju keterbelakangan mental tepatnya.
Maraknya potret suram yang menimpa wajah demokrasi kita hari ini, menjadikan kita terlanjur benci dan mengutuk politik sebagai lubang hitam peradaban. Adanya persepsi demikian, perlu kiranya untuk diluruskan.
Selama ini kebanyakan dari kita menganggap politik adalah sebuah kubangan kotor. Padahal kenyataaan tidak demikian. Kita memahami lebih jauh bagaimana membangunan definisi dari politik itu sehingga kita tidak gegabah menghakimi politik.
Maka dari itu perlu kiranya mendefinisikan kembali pengertian politik. Dimana politik dalam argumentasi terminologisnya hadir dalam tiga pengertian sekaligus.
Pertama, politik sebagai cita-cita luhur dan sarana membangun kesejahteraan sosial, ekonomi dan peradaban.
Kedua, politik sebagai sebuah proses, dalam hal ini prosesnya bisa baik bisa pula sebaliknya.
Ketiga, elite politik, seorang agen yang berperan sebagai stakeholder politik yang dalam babak sejarahnya tereduksi ke dalam konotasi negatif, politik sebagai kambing hitam peradaban akibat ulah elite politiknya yang tidak benar.
Dari sini kemudian, secara jelas kita bisa membedakan pengertian politik dalam tiga terminologinya tadi, politik sebagai sebuah cita-cita, politik sebagai sebuah proses dan elite politik.
Sebagai sebuah cita-cita, politik dibangun diatas terminologi yang anggun dan bermoral. Gegabah kalau kemudian memvonis politik sebagai kecelakaan sejarah dan menjadi sebab malapetaka.
Kesalahan tersebut tepatnya ada pada prosesnya dan juga perilaku elitenya sebagai aktor politik. Yang tampak selama ini hanyalah upaya untuk menjaring voters sebanyak-banyaknya.
Selain itu, belum hilang skeptisisme kita pada politik sebagai sebuah proses, lagi-lagi kita harus menyaksikan kenyataan pahit aktor-aktor politik yang menyebabkan hilangnya marwah dan kepercayaan terhadap institusi politik.
Hilangnya kepercayaan itu tidak lepas dari perilaku aktor-aktornya. Drama politik yang dimainkan elite politik dengan balutan janji manis penuh rayuan telah menjadi tontonan yang berulang-ulang tapi miskin realisasi setelah terpilih.
Apalagi krisis moral dikalangan elite, mulai dari isu skandal perselingkuhan, sampai skandal KKN semakin menambah prestasi degradasi kepercayaan politik terhadap institusi politik kita hari ini.
Perilaku elite pemenang kontestasi juga perlu menjadi perhatian yang sangat layak disimak.
Jika oknum yang kalah mungkin khawatir dapurnya tidak lagi mengepul, maka oknum yang menang minimal akan kecipratan untungnya sebagai ungkapan balas jasa telah dibantu untuk menang.
Para penentangnya akan dibidik satu-persatu, mulai dari tindakan di-non-job-kan, mutasi, bahkan bila perlu diberikan lahan gersang. Intinya, sebisa mungkin kariernya harus dimatikan selama ia berkuasa.
Parahnya, setelah berkuasa, rakyat yang notabene pemangku legitimasi yang mengangkat mereka duduk di kursi pemerintahan ternyata tidak berdaya apalagi kuasa untuk menagih janji-janji manis tersebut, apalagi upaya untuk memakzulkan mereka.
Lantas dimana letak dan alas an elite negeri ini menutup mata atas kebobrokan moral berdemokrasi tersebut? Toh, ujung-ujungnya kalau bukan balas jasa kan balas dendam?
Segera setelah pelantikannya, para pasangan kepala daerah ini beserta dengan tim suksesnya merapatkan barisan untuk melakukan pergantian gerbong struktural.
Pejabat yang mendukung akan dipertahankan atau dipromosikan. Sebaliknya, yang dianggap lawan akan dicopot dan di-nonjob-kan.
Profesionalisme hanyalah pemanis bibir belaka. Jargon right man on the right place hanya ditemukan didalam naskah pidato.
Hal yang tampak dari gambaran fenomena ini adalah posisi jabatan yang diisi oleh orang yang latar belakang pendidikan maupun jejak kariernya sama sekali tidak bersinggungan dengan jabatan baru yang dihadiahkan kepadanya.
Celakanya jelas, akan bermuara pada profesionalitas, spesialisasi dan kredibilitas dalam pengambilan keputusan dan penentuan arah kebijakan lingkungan pemerintahannya nanti.
Pada titik yang ekstrim, para pemimpin melakukan perombakan menyeluruh. Seluruh pejabat eselon dua masuk dalam gerbong mutasi. Timbangannya bukan soal kinerja dan prestasi. Tapi jargon orangku atau orangnya. Disinilah drama politik balas dendamnya.
Mereka yang cemerlang, berkinerja hebat, dan memiliki visi membangun yang brilian, terdepak karena tidak berada dalam gerbong yang sama ketika kompetisi sedang berlangsung.
Mereka diganti dengan pejabat baru, dengan gagasan baru. Tentunya memulai lagi dengan titik nol. Paling tidak, berusaha lebih dahulu mengenali lingkungan kerja barunya. Langkah pembangunan kembali menjadi mandeg. Bahasa optimisnya, melambat.
Praktek politik mereka seperti misi Gengis Khan (Temudjin) yang sekedar menghancur leburkan wilayah taklukan dan menghapus peradabannya.
Orientasi kekuasaannya bukan untuk melestarikan peradaban dan kehidupan yang lebih baik. Sebaliknya mengekalkan pernyataan homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi manusia lainnya) ala Thimas Hobbes. Artinya, pemenang akan menghabisi yang kalah sebagai konsekuensi dari percaturan politik yang tidak sehat.
Adanya fenomena seperti ini menuntut kita untuk semakin cerdas dan bijak dalam menyikapi persoalan. Dalam upaya peningkatan kualitas pola pikir masyarakat, perlu adanya peran pendidikan politik.
Namun, pikiran kita kembali diuji dan dibuat kacau ketika media massa juga diserang oleh kampanye hitam yang mengatakan bahwa media ini bayaran, media itu orderan dan lain lain.
Semuanya kembali pada rasionalitas konstituen politik dalam hal ini kita sebagai pemilik legitimasi. Oleh karena itu, terlepas dari benang kusut tadi, kita tetap bisa menentukan pilihan kita dan menyikapi secara kritis krisis moral pemerintahan hari ini. Artinya kehatian-hatian kita ke depannya adalah penentu dalam menciptakan proses pemerintahan yang berkemajuan.
Penulis: Rendy Putra Revolusi (Sekretaris Bidang Hukum dan HAM Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah Kota Balikpapan)