Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB), Muhammad Zainul Majdi yang populer dipanggil TGB (Tuan Guru Bajang) terus terang mendukung Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menjadi presiden lagi di pilpres 2019. TGB berucap bahwa Pak Jokowi tak cukup menjadi presiden lima tahun.
Beliau memuji kepemimpinan Jokowi. Memuji hasil kerja nyata Presiden. Termasuk, tentunya, kerja nyata itu adalah tumpukan hutang yang telah mencapai 7,000 triliun, kenaikan TDL dan harga BBM yang telah berlangsung berkali-kali dan belasan kali. Termasuk pula kerja nyata itu adalah sukses Revolusi Mental yang antara lain tercermin dari pembudayaan bagi-bagi hadiah dengan cara melemparkannya dari kendaraan dan khalayak berebut-rebut sebagai bentuk penghambaan mereka.
Adakah yang salah dengan sikap TGB ini? Sama sekali tidak. Tidak ada yang salah. Pertama, itu hak beliau. Kedua, cara mendukung terus-terang seperti ini lebih bagus ketimbang sembunyi-sembunyi. Mengapa?
Lebih elegan bersikap begitu. Supaya semua orang tahu. Saya paham, Anda pun mengerti. Tidak abu-abu. Sebab, seorang ulama seperti TGB harus jujur menunjukkan sikap dan jalan pikirannya. Perkara itu tak cocok dengan aspirasi rakyat, soal lain lagi.
Mengejutkankah TGB mendukung dan memuji Jokowi? Tidak juga! Kenapa tidak? Lha, bukankah TGB sudah menjadi gubernur 10 tahun? Artinya, beliau sudah sangat paham soal kekuasaan. Beliau telah berevolusi menjadi seorang politisi sejati. Paham soal perlunya kekuasaan dipertahankan oleh seorang petahana ke periode selanjutnya atau diteruskankan ke level berikutnya. TGB, mungkin, merasa beliau wajar naik ke level berikutnya.
Barangkali saja, dalam rangka untuk meneruskan kekuasaan ke level berikutnya itulah TGB terdorong untuk maju ke depan mendukung Jokowi. Siapa tahu, dengan mengeluarkan pernyataan yang mengejutkan Anda itu, Pak Jokowi membuka jalan untuk TGB. Apalagi nama cawapres Jokowi belum ada.
Tidak juga salah kalau TGB berharap bisa digandeng oleh Pak Jokowi sebagai cawapres. Yang salah adalah Anda. Anda mengharapkan agar TGB melangkah seperti jalan pikiran Anda. Anda berpendapat bahwa negara ini berada dalam situasi dan kondisi yang sangat menyedihkan. Menurut Anda, negara ini menghadapi bahaya besar. Sehingga perlu ada pergantian presiden pada 2019. Tapi TGB tidak melihatnya seperti itu.
TGB tidak berada di posisi Anda yang menilai negara ini sedang mengalami masalah serius. Beliau berdiri di tempat Pak Jokowi berdiri. TGB melihat Indonesia sebagaimana Pak Jokowi menilai Indonesia. Sedangkan Anda berdiri di tempat Pak Prabowo menatap Indonesia.
Anda pendukung Pabowo. TGB pendukung Jokowi.
Tapi, dulu ‘kan TGB itu pendukung Prabowo. Betul! Sekarang ‘kan beliau telah menyeberang ke Jokowi.
Kok bisa? Nah, tadi saya katakan bahwa TGB itu telah berubah menjadi seorang politisi sejati. Beliau sudah menjadi aktor politik berkelas berkat kerja keras beliau selama 10 tahun menjadi gubernur NTB.
Aktor politik adalah pemain politik. Pemain politik itu adalah orang yang bermain-main dengan lika-liku politik. Orang yang bermain-main dengan politik, ya seperti TGB itu.
Dan, harap diingat, salah satu ilmu berpolitik yang paling banyak diajarkan di Indonesia adalah “lompat indah”. Lompat dari satu kubu ke kubu lain dengan cantik. Berbeda dengan “loncat indah” di cabang olahraga renang.
Loncat indah di cabang renang mengharuskan atletnya fokus ke satu titik sasaran di kolam renang supaya dapat nilai bagus. Sedangkan “lompat indah” di olahraga politik mengharuskan “atlet”-nya (aktornya) tidak fokus di satu tempat (kubu) saja.
Para aktor politik harus mampu mengincar peluang di banyak tempat. Cekatan mencari peluang, cekatan lompat ke segala arah. Dalam bahasa Inggris, peluang itu adalah “opportunity”. Orang yang mengincar peluang disebut “opportunist” (oportunis).
Semoga tulisan ini semakin membingungkan Anda dalam memahami TGB. (SS)
Penulis:
Asyari Usman
(Wartawan Senior)